Jangan Pergi Keti (1)

Jangan Pergi, Keti! (1)

Terik panas di siang Sabtu membuat Aris hanya bisa bersantai-santai sambil memainkan seekor kucing, Keti namanya. Ia adalah kucing kesayangan Aris. Kucing yang berbulu putih bersih dan bertubuh gemuk. Seperti biasanya, kini sedang bermain pasir di depan pekarangan rumah. Sambil bermain-main terkadang Aris juga menyantap makan siangnya.

“Aris! Makan siangnya jangan sambil mainan kucing, nanti kotor makanannya,’ teriak ibu dari depan pintu rumah, namun tak digubris. Ibu hanya menghela nafas, membiarkan anaknya yang tengah bermain kucing kesayangannya itu. Tak lama kemudian, datang sang adik yang juga ingin bermain dengan si Keti.

“Kak Aris, Nita juga pengen ikut main sama Keti. Boleh ya?” tanyanya sambil berpegangan dan berayunan di belakang punggung Aris.

“Ngapain sih! Tidur aja sana! Ganggu kakak lagi bermain aja. Keti itu punya Kak Aris. Yang boleh mainan sama Keti juga cuman Kak Aris,” jawaban Aris membuat Nita tiba-tiba menangis dengan lantang. Selantang suara sang kakak.
Suara tangisan dan bentakan dua bocah itu beradu dengan tangguh. Tiap Aris membentaknya maka Nia juga membalasnya dengan tangisan yang sama pula. Mendengar suara kedua anaknya sudah sampai mengganggu, maka ibu langsung turun tangan untuk menghentikan pertikaian mereka.

* * *

Keesokan harinya, meski langit mendung namun tak mempengaruhi Aris untuk tetap bermain bersama Keti di lapangan. Mereka asik bermain bersama hingga hujan membubarkan mereka. Hujan turun dengan sangat deras dan tiba-tiba Aris dengan cepat berlari menuju arah rumah walau agak sempoyongan.

Dengan ngos-ngosan dari wajah yang memerah tibalah ia di rumah. Ibu langsung menghampirinya dan menggantikan baju serta celana Aris dengan cemas. Saat melepas lelah dengan menonton TV sembari mengemil roti dan teh hangat dari ibu, sekita Aris teringat akan kucing putih kesayangannya tertinggal di lapangan. Roti yang baru ia gigit satu bagian itu ia tinggalkan dengan tergesa-gesa untuk menjemput Keti.

M. Attariq Hafidz
Madura

Sumber: Kuntum, 371 Desember 2015

Bersambung: Jangan Pergi, Keti! (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *