Kerinduan Anak (2)

Sebuah Kerinduan (2)

Sambungan: Sebuah Kerinduan (1)

“Eh, kita makan tempe bakar saja ya?” usul Nada dengan wajah berseri-serinya.
“Oke,” jawaban pendek tapi bersama-sama menyambut usulan Nada.

Sambil menunggu pesanan tersebut datang, kami menonton TV sambil mengobrol.
“Oh ya, Raysa, kamu bawa laptop kan? Aku boleh pinjam ya? Mau ngerjain tugas Biologi nih,” pinta Hana.
“Ambil aja di atas meja.”

Hana bergerak mendekat meja dan meraih laptop Raysa. Sementara Hana ditenggelamkan oleh tugas Biologinya, kami beranjak pada ritual ngobrol, ngerumpi, atau sekedar memutar musik dari salah satu ponsel milik kami. Akhirnya, pesanan kami datang juga. Kami pun dengan lahap menyantap nasi tempe bakar yang tersaji di atas meja. Hal seperti iniah yang terkadang aku lakukan untuk mencari hiburan. Menghibur diriku yang selalu merasa sepi. Teman-teman di sekolah menjadi penghiburku. Bermain dan bersenda gurau bersama mereka adalah bentu aksi dari hiburanku.

Setelah terlalap habis makanan, kami masih berkutat dengan mengobrol, ngerumpi, atau sekedar memutar musik dari salah satu posel milik kami. Tak sengaja mataku melirik jam dinding di rumah Nada
Tak terasa sudah jam tiga sore.
“Aku pulang dulu ya? Udah jam tiga nih,” aku bersuara menyamai obrolan rumpian. Aku pun berlalu.

* * *

Goresan jingga telah hadir menampakkan cahayanya. Pelan-pelan melawan kebiruan langit hingga berganti petang. Sejenak manusia berhenti dari aktivitasnya untuk melaksanakan Shalat Magrib. Usai Salat Maghrib, tanganku mengambil novel dari dalam tas yang dipinjami oleh temanku di sekolah tadi. “Negeri 5 Menara” itulah judulnya dengan penulis A. Fuadi. Hobiku saat ini adalah membaca karya sastra. Akan tetapi, novel ini adalah salah satu karya sastra yang paling aku sukai. Aku membolak-balikkan halaman.

Pada bab ke-17 aku melihat judul Abu Nawas dan Amak. Suatu gejolak aneh menghampiri hatiku. Entah apa itu. Tanpa aku sadari sudut mataku mulai basah. Lelehan bening menelusuri pipiku. Tuhan, kenapa ini: Mengapa aku menangis? Aku teringat wajah itu. Wajah penuh kasih dan sayang. Kisah alam karya sastra ini hampir menyerupai kisah hidupku sendiri. Seorang perantau meninggalkan kampung halaman demi mencari ilmu ke negeri orang. Hanya saja yang berbeda adalah sang tokoh utama dalam novel ini menempuh pendidikan di pesantren, sedangkan aku bersekolah di SMA. Akan tetapi, tetap saja sama rasanya. Aku merindumu. Oh, ibu.

Mitra Karunia
Yogyakarta

Sumber: Kuntum, 352 Mei 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *