Jangan Pergi Kawan (2)

Sambungan: Jangan Pergi Kawan (1)

Aku berjalan mengendap-endap sambil memegang tempat sabun menuju kamar. Ketika sudah di depan pintu kamar, aku merasa lega karena aku mengira Ustadz Marzuki sudah berangkat ke masjid.
Tapi begitu aku mau masuk, tiba-tiba ustadz yang sangat kutakuti itu keluar dari pintu kamarku. Tubuhku langsung gemetaran. Aku pasrah jika ia memukul betisku dengan tongkatnya. Tapi ternyata ia tidak memukulku. “Ayo cepat berangkat!. Makanya kalau main jangan sampai lupa waktu biar tidak terlambat ke masjid!” katanya sebelum ergi. Aku menghembuskan napas panjang karena selamat dari sabetan tongkatnya.
Pukul dua aku baru pulang dari masjid. Ternyata sudah sejam lebih aku tertidur di sana. Di kamar, wajah teman-teman terlihat masygul. Padahal di hari Jumat ini, biasaya mereka selalu gembira karena Sekolah Diniyah libur. Di antara mereka, hanya Agus yang terlihat paling sedih.
“Kenapa kalian semua?” tanyaku pada teman-teman.
“Rofiki, Rom!” jawab Agus.
“Kenapa dengan Rofiki?”
“Jadi kamu belum dengar?”
“Belum! Memang kenapa dia?”
“Rofiki dan Deki sudah tiada!”
“Hush! Jangan bercanda kamu, Gus!”
“Aku serius. Aku endengarnya dari teman-tema ketika pulang dari masjid. Kata mereka, Rofiki ditemukan tenggelam di sungai Sungai Kebonagung!”

Tanpa bicara panjang lebar lagi, aku segera ganti pakaian dan langsung keluar dari kamar. Aku pergi ke halaman sekolah. Di sana ramai oleh teman-teman yang berkumul. Wajah murung mereka membuat pikiranku menjadi semakin tidak keruan. Mana mungkin Rofiki yang sebelum jumatan masih sehat dan bermai denganku, sekarang sudah meninggal? Tidak, aku tetap tidak percaya.

Di antara sekian teman-teman yang berkumpul di halaman sekolah, aku mencoba bertanya pada Matori tentang kebenaran kabar itu.
“Benar, Rom. Tadi waktu jumatan, Rofiki tidak pergi ke masjid. Dia pergi ke sungai dan mandi di sana bersama Deki.” jawaban Matori dengan raut sedih.
Mulutku terkatup rapat. Badanku lemas seketika. Aku mencoba duduk di lantai emperan sekolah. Aku masih ingat ketika aku menolak ajakannya untuk jalan-jalan yang ternyata ke sungai Kebonagung. Aku masih belum percaya dua teman sekelasku itu sudah tiada.

Hari ini hari pertama Ujian Nasional. Aku menempati ruang satu. Sebelum ujian dimulai, Pak Iksan menyuruh semua siswa untuk berkumpul di halaman sekolah. Kepala Sekolah itu mengajak kami untuk bersama-sama mendoakan arwah Rofiki dan Deki.
Bel masuk berbunyi. Aku memasuki ruangan ruang satu yang seharusnya berisi dua puluh murid seperti dua ruang lainnya, kini hanya tinggal delapan belas orang. Bangku Rofiki dan Deki kosong. Satu hal yang membuatku semakin terenyuh adalah di atas mejanya masih tertempel kartu ujian mereka, dengan fotonya.

Bayhaki A. Khalili
Sumber: Kuntum, 354 Juli 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *