Sani, itulah nama yang diberikan oleh ayahku, tepatnya Sani Anggraeni. Begitu indahnya nama yang diberikan kepadaku dan aku sangat bahagia memiliki ayah yang sangat baik dan perhatian kepadaku, terlebih ketika 3 tahun yang lalu saat dokter memvonisku menderita sakit leukumia meski stadium awal. Ayahku menjadi begitu sangat perhatian kepaaku bahkan setiap waktu beliau selalu menjagaku bahkan menuruti apa yang aku inginkan. Aku benar-benar merasa bahagia sekali meskipun aku menderita sakit yang sangat parah, namun entah kenapa sakitku tidak pernah aku rasakan. Mungkin karena setiap saat aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sayang padaku yang selalu perhatian kepadaku.
Namun malam ini aku merasa sangat bingung dan takut karena siang tadi ayahku datang ke sekolah untuk mengambil rapotku. Aku benar-benar takut bahkan hembusan angin malam yang menempaku seakan menusuk ke dalam hatiku membuatku menjadi semakin takut dan merinding.
Saat ini di pikiranku hanya ada rasa takut, apalagi jika aku mendapatkan nilai yang jelek kemudian ayah bisa-bisa akan memarahiku dan tidak menyayangiku lagi. Kemudian aku memberanikan diri untuk berbicara kepada ayah tentang nilai yang kuperoleh. Namun, suasana kembali sunyi ketika ayah tanpa terdiam saat aku bertanya kepada beliau. Hatiku kembali menangis bersama dengan keluarnya air mata yang keluar dari kelopak mataku. Dan tiba-tiba ayah berbicara kepadaku sambil meneteskan air mata, “Sani, kamu adalah anak bapak yang terbaik. Meskipun kamu sedang sakit, tapi kamu selalu bisa membuat ayahmu ini menjadi senang.” Air matakupun tidak bisa terhenti ketika ayah bilang seperti itu kepadaku.
Ayah meminta agar aku mau berobat ke Semarang untuk menyembuhkan penyakit leukimiaku karena di sana ada dokter spesialis leukimia yang tak lain adalah teman ayahku sendiri, jadi ayah meminta agar menuruti keinginan beliau namun aku bingung apakah aku harus pergi ke saa atau tidak? Namun aku tidak ingin meninggalkan teman-temanku, aku bahagia di samping mereka.
Tapi aku juga tidak bisa membuat ayahku sedih dan aku juga ingin sekali untuk sembuh. Aku benar-benar bingung apa yang harus aku lakukan, di hatiku terus berdoa agar bisa memutuskan mana yang terbaik namun aku tetap tidak bisa menolak keinginan ayah.
Ari Wicaksono
Salaman, Magelang
Sumber: Kuntum, 351 April 2014