Sambungan: Ayah, Hadiah Terindahku (1)
Ayah sudah tidak pulang dari kemarin sore. Aku mencarinya ke pasar dan menanyakannya ke beberapa tetangga dan teman Ayah, namun semua menjawab tidak tahu. Aku kembali ke rumah sebelum sore dating karena aku harus mempersiapkan beberapa hal kecil untuk acara ulang tahunku mala mini. Aku perlu memastikan kuenya sudah siap diantar, dekorasi ruang pestanya sudah siap dan gaun yang aku rancang sendiri sudah selesai dibersiahkan. Ulang tahunku akan mewah. Tempatnya saja bukan di rumah tapi di hotel, seperti yang dilakukan oleh teman-temanku kebanyakan.
Malam datang. Taksi yang sudah kutelepon mengatarku ke tempat acara datang, namun Ayah belum juga pulang. Ayah tidak mungkin lupa kalau hari ini ulang tahun anak satu-satunya.
Aku sampai di hotel yang kumaksud. Beberapa tamu sudah datang. Teman-temanku memujiku mala mini, gaunku indah dan cantik, dekorasi ruangannya juga sangat anggun. Aku senang, kecuali satu hal. Ayah belum juga datang
Jantungku makin kencang berdegup ketika semua orang mendesakku untuk segera tiup lilin, lalu potong kue. Rasanya jantungku benar-benar berhenti berdegup ketika dua orang laki-laki masuk ke ruang pesta. Bajunya coklat, jalannya tegap. Ruangan mendadak hening hingga suara sepatu boots kedua laki-laki itu terdengar di seluruh ruangan.
Polisi.
Aku terkejut. Lebih terkejut lagi ketika polisi itu menghampiriku, memberiku hormat singkat, mengucapkan selamat malam, menanyakan namaku lalu mengatakan yang tak ingin kudengar. “Bapak Gunawan saat ini sedang berada di kantor polisi atas tuduhan mencuri.
Mencuri? Ayah? Kantor polisi? Dan… ulang tahun ini?
“Ayah, aku minta maaf ya.” Air mataku sudah jatuh. “Ayah. Hadiah terindah itu Ayah kok.”
Dina Fadilah Salma
Yogyakarta
Sumber: Kuntum, 370 November 2015