Sambungan: Aku Cuma Mau Sekolah (1)
Waktu tidak lagi merangkak, melainkan berlari. Kini tibalah saat Andi dan teman-temannya menerima hasil belajar di sekolah. Setiap wali murid datang untuk mengambil rapot putra-putri mereka.
“Andi…!” Ibu Andi terlihat begitu marah. Ia tak menyangka Andi tidak naik kelas. Andi mendapatkan nilai buruk di matematika.
“Bagaimana nilai matematikamu begitu buruk Andi?”
“Anu Bu. Kemarin Andi belum paham soal penjumlahan. Kata Bu Wati. Satu tambah satu itu dua. Tapi pas ke rumah Bibi, Bibi cerita punya satu kambing dan satu kambing yang jantan. Terus sekarang bibi punya lima kambing. Andi bingung, Bu! Andi nanya lagi ke Bu Wati. Ia sedang sibuk dan nggak sempat menjawab peranyaan Andi. Jadi pas tes kemarin, Andi nggak jawab semua soal penjumlahan.
“Bagaimana mungkin Andi jawab pertanyaan yang Andi nggak paham. Itu sama saja Andi bohong.’
Ibu Andi tetap marah. Ia telah berjuang keras untuk membiayai anaknya sekolah, tapi penjumlahan saja nggak bisa. Ibu mengambil sapu lidi dan memukulkannya ke pantat Andi.
“Dasar anak bodoh! Nggak usah pikir panjang-panjang. Asalkan dapat nilai bagus, maka kau akan sukses.”
Andi menangis terisak-isak. “Bu, Andi Cuma pingin sekolah. Bukan mau dapat angka sembilan dan sepuluh!”
Begitulah Andi, baginya sekolah adalah menjawab pertanyaannya. Bukan untuk mencari angka-angka di atas kertas. Bahkan, ia tidak tahu untuk apa angka-angka itu. Supaya ia sukses? Bagaimana bisa? Andi hanya ingin sekolah. Dengan sekolah, ia bisa melakukan sesuatu dengan benar.
Siti Atitah
Muntilan, Jawa Tengah
Sumber: Kuntum, 367 Agustus 2015