“Nak, nak, bangun!”
“Sebentar lagi, Bu. Satu mimpi lagi.”
“Lekaslah bangun! Tunaikan sholat dan mengajilah dengan kakak!”
“Baiklah, Bu.”
Selepas shalat Subuh yang cuma empat orang terdengar sayup-sayup lantunan bacaan Al Quran dari beranda masjid. Andi pun segera mengambil iqranya. Didekati kakaknya yang sontak menghentikan lantunannya dan memperhatikan Andi. Sudah saatnya mengajarinya ngaji. “Huruf apa ini?’
Andi hanya menggeleng, tak bisa membedakan antara huruf ba, ta, dan tsa. “Kenapa hurufnya hampir sama kak? Kan jadi pusing membedakannya.”
“Ya, kan sudah dari sana hurufnya seperti ini.”
Tadarus Subuh itu pun berakhir dengan debat yang membuat keduanya bingung. Andi segera mengembalikan iqranya dan berlari menuju rumah.
Seusai mandi, Andi berganti baju kebesarannya, benar-benar kebesaran dalam arti sebenarnya. Badannya yang kecil kini berlapis setelan putih merah.
Sesampainya di sekolah yang harus berjuang melewati sawah dan jarak yang jauh. Andi memang terkenal sebagai murid yang berkeingin tahuan besar. Bahkan bentuk angka yang sedemikian rupa pun tak luput dari pertanyaannya. Membuat sebagian guru kewalahan menjawab apa yang jadi pertanyaan memenuhi otaknya sehingga ia biasa berkata, “Oo, iya.” Ketika ia mengetahui suatu hal, ia merasa dapat melakukan sesuatu dengan benar, tanpa merasa takut salah.
Siti Atitah
Muntilan, Jawa Tengah
Sumber: Kuntum, 367 Agustus 2015