Orang-orang pasti bahagia ketika mengetahui dirinya dicintai. Tapi bukan untuk Zanto si pemilik tubuh kering dan ringkih yang senantiasa mencuarkan peluh di tengah hiruk pikuk kota untuk mencari setiap penyumpal lambung. Kulit dekil yang dihiasi ornamen daki tak karuan, ditambal dengan busana rombeng yang menawan untuk lalapan rayap atau tikus jembatan.
Sejak peristiwa hantaman gelombang di tepian Aceh saat itu, Ia sudah terlanjur amnesia dengan kata cinta apalagi kasih sayang mesra orangtua dan keluarga. Baginya, hidup sebagai gelandangan harus dijalani apa adanya. Sampai detik ia masih sanggup menghirup udara malam pertama bulan pengharapan cinta Ilahi. Bulan Suci Ramadhan.
“Diri oleh hina di hadapan manusia asal mulia di tepian Tuhannya,” dentingan nyaring menjahili keheningan yang dekori gelak tawa cekikan koleganya.
“Benar Din. Nto berkoalisi dengan lu kali ne, biar kite-kite ne cuma gelandangan dengan profesi penyemir sepatu yang penting tetap bersih dan kinclong abis dipandang Sang Maha Mulia,” tepis Zanto tegas.
Malam itu langit tak mau kalah terbahak gelak menyaksikan drama sengit gelandangan dengan memuntahkan petir-petirnya yang ganas. Hujan riuh bertebuk ambai dengan pukulan-pukulan airnya ke kulit bumi. Di atas permadani kardus dan selubung Koran-koran sebagai penghangat tubuh. Di depan teras pertokoan,, malaikat kudus berkunjung untuk menjadikan tidur mereka sebagai ibadah, helaan nafasnya terhitung tasbih.
Pandangan Zanto masih bergelantungan erat pada deretan sajadah yang terhampar di dalam kaca toko Multazam. Hampir setiap hari Ia menyempatkan diri untuk mematung di depan toko sekedar mengisi harapan untuk memilikinya. Zanto berbeda dengan dua rekannya. Ia anak sholeh yang taat dalam menjalankan pilar-pilar agama termasuk salat. Sebenarnya menolong anak yang belum baligh karena usianya masih terhitung 10 tahun. Ada bongkah keistimewaan yang menancap pada diri Zanto, dalam waktu 11 hari empo Ramadhan berlalu. Ia telah menghafal 9 juz Al-Qur’an. Tentu hasrat memiliki sajadan dan tekat menghafal Al ‘Qur’an berkorelasi satu dengan lainnnya. Lagi pula selama 6 tahun terdampar di tengah kota metropolitan. Ia memang tidak pernah memiliki sajadah.
M. Adwan Yomi
Yogyakarta
Sumber: Kuntum, 369 Oktober 2015
Bersambung: Sajadah Surga Zanto (2)