Sambungan: Rumah di Ujung Jalan (1)
Lalu Bayu menceritakan semuanya. Rumah di ujung jalan, peringatan teman-teman barunya, dan kejadian yang baru saja dialaminya.
Eyang Kakung mengangguk-angguk. “Sekarang, coba kamu pinjam senter pada ayahmu,” ucap Eyang Kakung. “Kita tangkap hantu itu,” katanya lagi tegas.
Bayu melongo sejenak, “Ayo, Bayu!” tegur Eyang Kakung. “Cucu Eyang tidak boleh penakut.”
Bayu buru-buru menemui ayahnya.
Bahkan Bapak pun kelihatan tertarik dan akhirnya ikut. Ibu sebetulnya ingin ikut juga. Tapi Huna, adik Bayu, sudah tidur. Mana mungkin Ibu meninggalkan Runa sendirian di rumah?
Mereka bertiga sampai di depan rumah di ujung jalan. Ayah Bayu dengan mudah membuka pintu pagar yang tak terkunci. Eyang Kakung menyorotkan lampu senter besar ke sekeliling halaman. Angin yang berhembus membuat pepohonan menari-mari. Bayu menempelkan tubuhnya pada Bapak. Tapi Bapak malah tersenyum-senyum.
Tiba-tiba… hiihiihiihiihiiihii…
Bayu hampir menjerit ketakutan. Tawa itu lagi! Tepat di atas mereka! Ia memejamkan mata rapat-rapat. Eyang Kakung menyorotkan senter ke atas. Hihihihihrii… kuk geruk koook… kuk geruk koook… Kuk geruk koook…
Tawa Eyang Kakung dan Bapak seketika mereda. Bayu ternganga. Tidak ada hantu di atas pohon. Kecuali sarang burung di atas sebuah dahan.
“Sudah kuduga,” kata Eyang Kakung di sela-sela sisa tawanya “ltu cuma suara burung puter. Memang ada puter yang bisa bersuara seperti orang tertawa. Ada juga yang tidak. Yah… seperti orang yang bisa atau tidak bisa menyanyilah.”
Bayu ikut tertawa. Jadi burung sebangsa perkutut dan tekukur itu yang berhasil membuatnya lari terbirit-birit? Benar-benar memalukan! Dan burung itu juga yang sudah membuat orang-orang memilih jalan memutar. Juga membuat rumah di ujung jalan itu tidak laku dikontrakkan.
“Bagaimana Eyang bisa yakin kalau benar-benar tidak ada apa-apa di rumah ini?” tanya Bayu. Eyang tadi juga lewat Sini, Bayu. Pas burung itu menyanyi.” Kemudian Eyang Kakung menoleh pada Ayah Bayu. “Ini tugasmu menjelaskan pada orang-orang.”
Bapak mengangguk-angguk.
“Sekarang kita pulang,” ajak Eyang Kakung.
Bayu sudah tidak menempel-nempel lagi pada Bapak.
Elizabeth Widyaningrum
Sumber: 08/XXXIV 1 Juni 2006