Sambungan: Rasanya Tergusur (1)
Reno ditarik masuk oleh ibunya. Di luar keadaan makin tak terkendali.
Terjadi perlawanan dari penduduk. Banyak yang terluka, baik petugas maupun penduduk kampung. Sementara Ketua RW dan ayahnya yang berusaha menengahi, tak bisa lagi mengendalikan warga kampung yang marah. Petugas itu pun mundur. Suasana tegang mereda.
Akan tetapi itu tak lama. Petugas keamanan dari satuan lain datang. Bahkan jumlahnya tiga kali lebih banyak. Kali ini penduduk kampung tak bisa lagi menahan mereka. Pertahanan terakhir pun jebol. Dengan mudahnya buldozer-buldozer itu masuk.
Para penduduk, termasuk Reno dan keluarga berkumpul di lapangan dengan membawa barang-barang berharga sambil melihat penggusuran itu. Suasana haru, sedih, dan tangisan mengiringi suara buldozer yang meratakan rumah dengan tanah. Korban pertama buldozer itu adalah rumah Sandi yang berada di muka jalan. Kemudian rumah di sebelahya juga ambruk. Tiga rumah lagi, maka Reno akan melihat rumahnya pun akan hancur.
Dengan berdebar-debar, Reno melihat sebuah buldozer yang mengarah ke rumahnya. Dan ketika alat pengeruk itu menimpa atap rumahnya, Reno tidak tahan lagi.
“Jangan…!” jeritnya.
“No,… Reno bangun!” terdengar suarah Ayah membangunkannya. Reno tersadar dan mengusap matanya.
“Kamu kenapa…?”
“Yah… apa rumah kita ini akan digusur?” sahutnya balik bertanya.
“Tidak… kenapa?” jawab Ayah penasaran.
“Reno mimpi kampung kita ini akan digusur, Yah!” jawabnya gugup.
“Oh… begitu. Pantas kamu ketakutan!”
“Apa surat-surat rumah kita ini lengkap, Yah?” tanya Reno cemas.
“Ya, Iengkap. Bahkan ada sertifikat dan akta jual belinya,” jawab Ayah menenangkan. “Kamu terlalu sering menonton berita penggusuran, sih,” sambung Ayah menahan tawa.
Reno mengangguk pelan. Mimpinya memang mirip sekali dengan berita penggusuran yang ditontonnya di televisi sore tadi. Reno lalu melanjutkan tidurnya dengan hati lega. Namun sebelumnya ia berdoa untuk para korban penggusuran. Mimpi tadi membuat Reno tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang rumahnya digusur secara paksa.
Hadi Pranoto
Sumber: Bobo 29/XXXII 28 Oktober 2004