Sambungan: Kue Lapis Harapan (1)
“Maaf, Nduk. Dengan keadaan Ibu yang seperti ini, mungkin Ibu tak bisa membiayai kuliah kamu nanti,” suara Ibu bergetar. Air matanya menetes menambah perih hatiku.
“Eh, ndak papa, Bu. Lisa udah seneng banget bisa lulus SMA. Yang terpenting buat Lisa sekarang tuh Ibu tetap sehat. Terus bisa ngajarin Lisa bikin kue biar bisa jago kayak Ibu,” kugenggam kedua tangan Ibu memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Serpih harapan yang sempat retak seolah kembali mengkristal dalam hatiku. Akan kukembalikan keceriaan itu, Ibu.
* * *
Dengan modal nekat dan sedikit pengalaman membuat beberapa jenis kue, aku mencoba meneruskan usaha kecil keluargaku agar dapat kami tetap ngepul. Tabungan kami semakin menipis sedang uang pensiunan Ayah sebagai guru yang tiap bulan kami terima sepertinya tidak cukup mengingat biaya pengobatan Ibu yang tak bisa dibilang sedikit. Maka dengan bekal buku kumpulan resep milik Ibu, aku mencoba menghidupkan kembali usaha yang sempat mati suri ini.
“Lis, besok kue lapisnya ditambah ya! Laris banget. Kemarin aja, jam istirahat pertama udah langsung ludes. Anak-anak masih banyak yang nyari,” ujar bu Wati,
“Oke deh bu,” balasku sembari mengambil tempat kue yang telah kosong.
“Aku senang, Lis. Akhirnya ibumu bisa buat kue lagi.”
“Iya Bu, Alhamdulillah. Saya langsung pamit dulu ya. Mau belanja. Bahan kuenya udah pada habis. Assalamu’alaikum. Kulangkahkan kakiku meninggalkan kantin Bu Wati. Ada sedikit getir menelusup dalam hatiku. Andai saja Ibu mau kembali membuat kue sebagaimana yang mereka sangka, pastilah aku orang pertama yang merasa sangat bahagia. Tapi kenyataaannya, Ibu seperti telah hanyut dalam kesedihannya. Beliau sama sekali tidak mau keluar rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu menyendiri di kamar. Alah, aku rindu Ibu yang dulu.
* * *
Di tengah keasyikan membuat adonan kue, kulantunkan takbir dengan hati yang mengembang. Hari terakhir Ramadhan tak ingin kulewatkan dengan sebutir pun rasa kesedihan, pikirku.
“Nduk, terigunya diayak dulu itu biar tekstur kuenya lebih lembut.” Tiba-tiba suara Ibu memotong kesibukanku menuang terigu ke dalam Loyang. Ternyata seari tadi beliau telah memperhatikanku dari pintu dapur. Seketika aku menghampirinya dan memeluknya penuh rasa syukur. Lantunan takbir yang kurapalkan berubah menjadi untaian pujian untuk Yang Maha Penyayang. “Alhamdulillah…”
Tri Yaumil F.
Kasihan, Bantul