“Bersama kesulitan, pasti ada kemudahan”
Sepotong kalimat inilah yang sering Ayah ucapkan untuk membesarkan hatiku ketika dirundung kesedihan. Dulu, di saat sosok ayah masih ada di sampingku yang dapat kujadikan alasan untuk menegarkan langkah-langkah. Belum genap satu tahun ayahku meninggal akibat tumor otak yang telah sepuluh tahun menemaninya. Kini kenyataan baru seolah tak ingin ketinggalan menguji ketabahan keluarga kami yang tinggal tersisa, aku dan Ibu. Sepeninggal Ayah, kesehatan Ibu memang semakin memburuk. Tapi aku sama sekali tak menyangka jika Ibu sampai divonis lumpuh pada kedua kakinya karena kerusakan sumsum tulang belakang. “Ah, sepahit apapun kenyataan yang menyertai, bukankah hidup harus terus dijalani?” gumamku dalam hati.
“Lis, gimana keadaan Ibumu? Ibu-ibu arisan kemarin pada nanyain beliau. Katanya sudah pada kangen pingin makan kue buatan ibumu lagi.” sapa mbak Nina, tetangga sebelah rumah ketika kami tak sengaja berpapasan di jalan.
“Iya, Bu. Ntar saya sampaian ke Ibu, deh. Saya juga udah kangen, nih. Keliling kompleks buat anter-anter kue,” balasku dengan nada seceria mungkin. Berusaha menyembunyikan perih dalam hal sekecil apapun itu.
Sudah dua bulan berlalu sejak dokter memvonis ibu tak lagi dapat berjalan. Maka selama itu pula, hari-hari Ibu habiskan dengan berdiam diri di atas kursi roda dan sesekali memandang keluar jendela dengan pandangan kosongnya. Bayangan Ibu meracik adonan kue dan aroma menggoda dari kue panas yang baru keluar oven sekarang benar-benar jadi hal sangat kurindukan. Kuhampiri Ibu dengan hati yang kutabah-tabahkan.
“Ibu, kenapa ndak coba bikin kue lagi? Biar nanti Lisa yang nitipin di warung-warung. Kata Bu Nina, ibu-ibu kompleks udah pada kangen makan kue buatan Ibu, “Aku mencoba membangunkan Ibu dari lamunan kosongnya.
Tri Yaumil F.
Kasihan, Bantul
Sumber: Kuntum, 368 September 2015