Cuaca di negeri Bianbian sangat aneh. Langitnya selalu biru cerah, tak pernah mendung. Akan tetapi, hujan selalu turun tak tentu waktu. Kadang dua hari sekali, satu minggu sekali, kadang setiap hari.
Hujan yang turun tanpa tanda-tanda ini, membuat para petani kelabakan. Padi yang sedang dijemur, tiba-tiba dibasahi hujan yang turun di hari yang cerah. Akibatnya, padi penduduk Bianbian banyak yang busuk. Satu persatu penduduk Bianbian pun jatuh sakit karena kelaparan.
Di istana negeri Bianbian, ada seorang pemuda penabuh genderang bernama Udai. Ia disukai banyak orang karena sangat lembut dan baik hati. Sebenarnya Udai adalah adik Raja Bianbian. Namun, Raja Bianbian tidak menyukai Udai karena rakyat lebih mencintai Udai daripada dirinya.
Raja akhirnya hanya menjadikan Udai sebagai seorang pemukul genderang kerajaan. Sejak negerinya dilanda kelaparan, Udai menjadi sering menyendiri di kuil istana. Ia merenung mencari jalan keluar bagi masalah yang sedang menimpa negerinya.
Suatu hari, seorang pengawal menghampirinya di kuil. “Tuan Udai, Raja meminta Anda untuk mengiringi Raja keliling ke pelosok negeri,” kata pengawal itu. Udai memutar tubuh lalu duduk sambil menatap si pengawal.
“Sampai saat ini aku masih belum mengerti. Kenapa Raja selalu memintaku memukul genderang setiap kali bepergian?” tanya Udai.
“Bunyi genderang itu sebagai tanda bagi penduduk banwa Raja akan lewat. Jadi mereka harus bersiap-siap untuk memberi hormat di tepi jalan. Tanpa suara genderang, penduduk tak akan tahu kalau Raja akan melewati desa mereka,” kata pengawal. Sejenak Udai terdiam merenungkan kata-kata pengawal itu.
Pengawal maukah engkau menggantikan aku memukul genderang’?” pinta Udai kemudian.
“Tapi Tuanku? Bagaimana kalau Raja…?”
“Katakan pada Raja aku ingin berdoa_ Aku perlu menghadap Dewa saat ini juga,” jawab Udai mantap.
Pengawal itu tidak berani membantah. Ia memberi hormat lalu pergi. Udai pun segera kembali ke tempat pemujaan di dalam kuil. Ia kini tahu apa yang akan dimintanya pada Dewa. Udai memejamkan mata dan mulai berdoa.“
Joko Setyo Purnomo
Sumber: Bobo 29/XXXII 28 Oktober 2004