Rumah di ujung jalan itu tidak berpenghuni. Sudah lama ada tulisan DIKONTRAKKAN di kaca bagian depan. Tapi tak ada yang tertarik untuk mengontraknya. Kabarnya, rumah itu berhantu.
Sebagai anak baru di daerah itu, Bayu agak kaget juga mendengar peringatan teman-temannya.
“Kalau bisa, hindari lewat depan rumah nomor 34 di ujung jalan itu, Bayu,” kata Oka. “Terutama kalau malam hari. Rumah itu berhantu,” ujar Luki serius.
“lya,” timpal Thomas, “Mamaku sering dengar suara tertawa.”
Bayu termenung sejenak. Masak iya rumah di ujung jalan itu berhantu?
“Nanti aku beritahu jalan lain,” kata Oka, membuat Bayu tersadar.
“Biasanya sih kami lewat jalan Topas. Itu jalan tembus kecil. Jalannya memang lebih memutar dan jauh. Tapi lebih aman.”
Bayu mengangguk. Sebenarnya ia kurang yakin dengan kebenaran cerita tentang rumah berhantu itu.
Angkot yang ditumpangi Bayu sudah sampai di ujung jalan Berlian. Bayu menekan bel. Angkot menepi dan Bayu turun. Setelah angkot berjalan meninggalkannya barulah Bayu tersadar.
Arlojinya menunjukkan pukul 20.12. Ia tadi keasyikan mengobrol dengan mbak Putri, sepupunya. Sore tadi lbu menyuruhnya mengantarkan sepaket sprei batik kepada Budhe Wied, kakak Ibu. Budhe Wied tak mengizinkannya pulang sebelum makan. Akibatnya Bayu pulang kemalaman.
Bayu benar-benar lupa untuk turun di jalan Topas. Tapi apa boleh buat. Sudah telanjur. Jadilah ia melangkah masuk ke jalan Berlian. Daerah itu benar-benar sepi, walaupun malam Minggu seperti ini. Rumah di ujung jalan itu cukup besar. Bayu berjalan sambil sesekali melirik rumah itu. Halamannya luas, berada di depan dan di samping kanan-kiri.
Bayu sudah berada tepat di depan rumah itu. Ia berusaha untuk tidak takut. Tapi tetap saja cerita teman-temannya mempengaruhi keberaniannya. Ia semakin mempercepat langkahnya. Dan …. ada suara aneh. Asalnya dari rumah di ujung jalan itu. Suara tawa, terkikik-kikik. Cuma itu, tapi sudah cukup membuat Bayu mengambil langkah seribu.
Terengah-engah Bayu sampai di rumahnya. Ia hampir menabrak ibunya, yang keluar dari dapur.
“Hei!” Ibu mundur selangkah. Dilihatnya wajah Bayu agak pucat. “Kamu kenapa?”
Belum sempat Bayu mengucapkan apa-apa. Bahunya sudah ditepuk seseorang dari belakang. Ia sampai terlompat, menoleh.
“Eyang Kakung! Teriaknya berubah gembira, “Kapan Eyang datang?”
Kakek Bayu itu langsung memeluk cucunya. Bayu senang sekali melihat eyangnya. Sejak Eyang Putri meninggal lima tahun yang lalu, Eyang Kakung menghabiskan waktunya dengan mengunjungi putra-putrinya yang berjumlah empat orang. Ayah Bayu adalah putra bungsu Eyang Kakung.
“Kamu masuk ke rumah seperti orang dikejar setan,” tegur Eyang Kakung dengan bibir tersenyum lebar. “Ada apa?”
Elizabeth Widyaningrum
Sumber: 08/XXXIV 1 Juni 2006