Kakek Mulawita masih kebingungan dan juga kelelahan. Lima hari penuh ia berjalan menyusuri kampung-kampung, melewati bukit dan lembah tanpa istirahat. Telapak kakinya kini bengkak, seluruh persendiannya nyeri dan sakit. Kakek Mulawita ingin segera menemukan Tandangsis, cucu kesayangannya.
“Kakek, istirahatlah dulu di rumah kami. Setelah tubuh Kakek segar, silakan diteruskan mencari cucu Kakek itu,” kata Wanamerta, ketua kampung.
Kakek Mulawita tak segera menjawab. Bahkan ia menangis, “Tanclangsis masih terlalu kecil. Ia pergi tak membawa bekal apapun …”
“Apakah ia sedang mencari sesuatu’?” tanya Wanamerta.
“Ya. Tandangsis pergi mencari guru ahli ilmu pengobatan. Karena ia masih kecil, aku melarangnya. Ayah dan ibunya yang sedang sakit parah juga melarangnya. Namun ia tetap pergi juga setelah ayah ibunya meninggal tiga hari lalu,” jawab Kakek Mulawita sedih.
Ketua kampung lalu meminta penduduk desa membantu Kakek Mulawita mencari Tangdangsis. Tandangsah, saudara kembar Tandangsis, ikut mencari saudaranya itu dengan hati sedih. Mereka mencari di semua padepokan di sekitar desa. Namun Tandangsis tidak juga ditemukan.
Tahun-tahun pun berlalu. Penduduk desa hampir melupakan Tandangsis. Namun tidak demikian dengan Tandangsah dan Kakek Mulawita. Dengan sabar dan tabah mereka tetap menunggu kepulangan Tandangsis. Tandangsis tentu sudah tumbuh kuat dan perkasa sepertimu,” ujar Kakek Mulawita pada Tandangsah yang sudah tumbuh dewasa.
Suatu hari, Kakek Mulawita yang sudah semakin tua itu jatuh sakit. Ia lalu memanggil Tangdangsah. “Tandangsah, masih dapatkah Kakek bertemu Tandangsis, walau sebentar? Sepertinya ajal Kakek sudah dekat,” bisik Kakek Mulawita lirih.
“Bersabarlah, Kek. Tandangsih pasti pulang. Aku akan mencarinya,”
Tandangsah mantap. “Akan kujual sepuluh ekor kambing untuk seekor kuda. Supaya aku menempuh perjalanan jauh sekalipun.”
Mendengar jawaban Tandangsah, Kakek Mulawita menjadi agak tenang. Maka berangkatlah Tandangsah dengan mengendarai kuda barunya. Perjalanan jauh ditempuhnya dengan sabar. Melewati puluhan desa. Bahkan sampai masuk ke hutan rimba. Tandangsah juga keluar masuk padepokan untuk mencari saudara kembarnya itu.
Akhirnya sampailah Tandangsah di sebuah padepokan yang menyambut kedatangannya dengan istimewa. Ia dihormati seperti seorang raja.
Ahmad Sobirin
Sumber: Bobo 40/XXXII 13 Januari 2005