“Ada apa?” tanya Isna seperti menangkap suasana hati Ran. “Tidak… mm… lebih baik kamu segera pulang,” kata Ran dengan nada tegas. Isna menatap Ran tak percaya. Sepertinya ada sebatang jarum yang menusuk hatinya dengna lembut. “Ibu, ayah, dan kakakkmu mencarimu,” kata Ran lagi. Isna mencoba bertahan. “Tak ada yang ingin kau katakan lagi padaku?” tanya Isna. Ran tersenyum Masuk ke dalam asrama, membiarkan Isna duduk sendiri di situ.
Hati Isna berkecamuk. Sesaat Isna memutuskan untuk segera pulang. Tetapi, tiba-tiba Ran muncul kembali. Dia menenteng sebuah tas plastik hitam. “Ini untukmu saja,” katanya. Isna menerimanya dengan perasaan tak menentu. Tapi Isna yakin, Ran memang mengharap ia segera pulang. Maka ia segera mengucap salam untuk pamit pulang. Isna ingat, ia belum salat Ashar. Di pelataran masjid, beberapa kilo dari asrama Ran, Isna menangis. Di sampingnya tergeletak kado yang tadinya untuk Ran. Kado itu dikembalikan, tetapi ditambah sebuah pesan panjang. Isna membacanya sambil terisak.
Sampai di rumah, Isna masih terlihat kusut. Ada bias malu, benci, menyesal, kecewa, semua berbaur di matanya. “Tiin… Tiiin…,” klakson motornya berteriak begitu sampai di depan rumah. Mas Yus merasa aa yang tak beres. Tetapi diam saja. Baru setelah isya’ dan Isna sudah pulas di tempat tidurnya, Mas Yus masuk ke kamar Isna. Mas Yus membuka tas plastik hitam. Menemukan barisan pesan.
“Kalau kau ibaratkan aku ini cinamu, maka aku kasihan denganmu. Kalau kau ibaratkan cintamu itu senja, maka sungguh aku kasihan denganmu. Kau mati-matian mengejar senja dengan alasan cinta. Apa kau tak tahu” Senja itu akan segera berakhir. Lembayungnya membutakan matamu. Kecualli kau melihat bahwa aku ini fana. Tidak perlu kau mengejarku saimpai ke kota ini. Kau bohongi dirimu sendiri dan keluargamu. Kau tak jujur, jika kau lari menemuiku. Aku akan datang ke hadapan keluargamu, jika memang aku mencintaimu. Aku tak mau kau datang menemuiku lalu kita duduk berdua, tertawa seolah tak sadar setean menjadi yang ketiga. Pulanglah, itu bukan cinta…”
Mas Yus menatap punggung adik kesayangannya. Ah… Isna tak jujur padanya, bahwa ia pergi ke kota seberang. Tapi Mas Yus tersenyum lega, siapapun lelaki itu, Mas Yus tahu lelaki itu telah menentukan sikap terbaik. Mas Yus mengingat isi tas plastik hitam itu sebuah hiasan dinding yang di belakangnya ada puisi milik Isna. Sebuah puisi tertulis di sana. Cinta Senja.
Bunga Hening Maulidina
Sragen
Sumber: Kuntum, 357 Oktober 2014