Isna tak enak hati. Matanya menerawang jauh ke jendela. Ia gelisah. Bagaimana tidak? Jika belakangan ini ia sering terbayang sosok yang sering menghantuinya. Ran. Seminggu lalu mereka bertemu di sebuah forum mahasiswa. Ran tersenyum, Isna tercekat. Masa lalu kembali membayang. Dulu betapa ia pernah memimpikan Ran, sebagai cinta. Entah cinta apa namanya.
“Kamu sekarang kuliah di mana?” pertanyaan Ran itu menjadi pemicu perbinangan mereka. Perbincangan yang mendebarkan hati Isna. Belakangan ia sering berkomunikasi dengan Ran, lewat pesan singkat, media sosial, atau sesekali telepon. Ada gelegak dalam hati Isna. Dan… ia tak bisa menahan untuk tidak bertemu Ran.
“Mas, Isna berangkat dulu ya,” katanya pada Mas Yus kakak semata wayangnya. Ibu dan Ayah belum pulang.
“Ngelesi lagi ya? Di rumah siapa?” tanya Mas Yus. “Mm… Iya. Di rumah Aisa sama Dik Agus… Paling sebentar saja kok Mas…” ada nada khawatir dalam jawaban Isna. Tapi Mas Yus tak menangkap nada khawatir itu. Ia tersenyum pada adiknya dan mengangguk. Isna lega.
Hampir dua jam Isna mengajari Aisa dan Agus belajar. Mereka murid-murid les privatnya. “Daaahh Dik Agus!” kata Isna usai mengucap salam. Tapi… ada rasa was-was menyertainya, ketika membelokkan motornya berlawanan dengan arah pulang ke rumah. Isna mengendarai motornya jauh melintas kota. Motor Isna terus melaju. Kencang. Isna tahu ia menuju ke mana.
Isna sampai di sebuah bangunan. Ran sedang menyapu teras bangunan. Ia juga tak sadar dengan kehadiran Isna. Sampai Isna mengucapkan salam. Ran terkejut. Tetapi segera tersenyum dan menjawab salam. Mereka berbincang di sudut bangunan arama itu. Senja hampir menghias di ufuk barat. “Mengapa datang sendiri?” tanya Ran akhirnya. Isna menunduk. “Aku tak bilang dengan orang rumah. Mereka pasti melarangku untuk bermain ke sini”… tapi…” Isna tak meneruskan kata-katanya. Ia menatap jauh. Ran menghela napas. Ia tahu arti tatapan itu.
Ran telah mengalami hal-hal semacam ini. Teman-teman perempuannya datang. Baik datang sendiri atau dengan beberapa teman lain. Tatapan mereka hampir senada dengan Isna Iko, sahabat Ran mengatakan bahwa tatapan cinta. Ah! Tapi mengapa harus datang dari Isna. Teman sekelasnya dulu itu memang pendiam. Bahkan menjaga pergaulannya dengan teman laki-laki. Kini ia datang ke asrama Ran? Bahkan terang-terangan membawa kado untuk Ran. Entah isinya apa. Tapi Ran pun hampir hafal dengna peristiwa seperti ini. Ran menghela napas lagi. Panjang sekali.
Bunga Hening Maulidina
Sragen
Sumber: Kuntum, 357 Oktober 2014